Screenshot_2018-05-01-06-12-23_1525133728332

Bahkan kopi yang kunikmati malam ini pun belum bisa mengantarku kepada pemikiran yang logis. Ketika semua manusia ingin mencapai ambisinya dengan cara apa saja yang bisa dilakukannya, namun tak mudah bagi Eki untuk melakukannya meskipun ia juga bisa melakukannya lebih dari itu.

“Terus bagaimana? Apa yang harus aku lakukan?” Eki mencoba meminta saran kepadaku.

“Apa kau hanya diam saja menunggu takdir yang akan terjadi padamu?” Aku sengaja membuatnya berpikir lagi.

“Kau tau sendiri siapa aku ini”

“Tak ada kehidupan yang sempurna, bahkan aku sendiri pernah merasakan nasib yang sama denganmu. Tapi dengan kenekatanku pergi, aku bisa menemukan apa yang aku impikan selama ini, meskipun begitu banyak resiko yang harus ku ambil”

Seperti nasib kopi yang tengah ku nikmati malam ini. Hangat, lalu berubah menjadi dingin meskipun tidak mengubah rasa kopi yang pahit kemanis-manisan atau sebaliknya. Sejumlah artikel, jurnal dan kisah inspiratif yang dibaca Eki juga belum mendapatkan secuil harapan untuknya. Aku sengaja memberikan saran padanya karena aku pikir ia memiliki sedikit kesamaan karakter denganku, biar bagaimanapun aku sudah hidup dua tahun lebih lama darinya.

Beberapa kenangan pahit dan manis seperti rasa kopi itu selalu menjadi cambuk bagiku, aku bisa belajar dari orang-orang yang memberikan kesan pahit dan juga manis dimasa laluku. Meskipun aku harus sesekali menyeka air mata yang tak pernah aku inginkan untuk menjadikan mukaku jelek. Atau membawaku kepada masa aku masih digendong ibuku.

Tapi, bukankah air mata itu bisa menyehatkan? Malah orang lain ada yang menganggap air mata itu bisa menguatkan jiwa-jiwa yang rapuh? Atau air mata kebahagiaan sebagai ungkapan rasa syukur. Hingga air mata karena dosa juga berpahala?

Itu sih, hak mereka mau ngasih alasan apa saja untuk menangis. Tapi bagiku air mata setelah mendapatkan kebahagiaan dan kesenangan membuatnya lupa dengan untuk apa aku berada di daratan ini…. Air mata yang hanya sesaat ditumpahkan kemudian dihapus kembali dan ditelan kembali seperti memakan ludah sendiri.

Pada akhirnya, aku lebih menikmati kopi ketimbang air mata. Kopi lebih bisa mengerti tentang diriku dan sudah menjadi temanku sejak lama. Meskipun terkadang aku juga butuh air mata untuk meluluhkan hatiku.

Mungkin caranya bukan mengingat kesedihan, tapi menanyakan kepada Tuhan “Tuhan… hal apa yang harus aku tangisi?” Dengan sendirinya Tuhan pun memberikan jawaban “Aku tidak butuh apa-apa darimu, Aku hanya ingin kau berpikir, untuk apa sajakah hadiah yang Aku berikan untukmu?”

 

Leave a comment

Trending