Oleh : Ainun Syam

Screenshot_2018-05-03-00-45-01_1526124757102

Ku biarkan rintik hujan terdengar ditelingaku, menemani diamku di kamar penuh kenangan ini. Aku masih tertegun melihat kata demi kata yang tersusun membentuk sajak dalam layar laptopku. Mereka bukanlah siapa-siapa. Bukanlah anak pejabat atau keturunan darah biru. Namun, bait-bait itu menyadarkan bahwa mereka bisa menandingi anak para raja yang hidup penuh dengan kemewahan. Bait-bait itu bisa menyadarkan siapa saja, bahkan diriku saat ini.

Kenapa bisa begitu? Dalam benakku selalu bertanya tentang sebuah keadilan dan kemanusiaan. Tentang tujuan hidup mereka-mereka yang terlahir dalam kemewahan dan bisa mendapatkan apa yang mereka mau. Ah… semua itu membayangi pikiranku setelah aku tahu hakikat semua ini dan kenyataan yang sekian lama disembunyikan.

Melodi dalam rintikan air hujan memberikan kehangatan dalam dinginnya tubuhku yang masih saja memilih untuk sendiri. Bukan karena menggenggam kehilangan dan enggan untuk melepaskannya. Namun, suara hujan itu yang memelukku bersama ketabahan.

Aku tetap saja fokus dengan sejumlah dokumen di laptop meskipun waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 malam. Rasa kantuk belum aku rasakan karena tugas kuliah masih berputar di otakku. Aku tak terbiasa untuk terlalu serius mengerjakan tugas, aku lebih suka sambil santai baca novel atau sajak-sajak yang memang menghibur diriku, sementara tugas-tugas itu ku istirahatkan agar tidak melelahkan. Kudengar suara pintu diketuk dari luar kamar, pelan-pelan terbuka dan ternyata ibu sudah berdiri di dekat daun pintu sembari masih memegang handel pintu.

“Sudah malam, nanti paginya dibangunin susah. Mau berangkat kuliah kan?” Kata ibu menyuruhku untuk segera tidur.

“Iya bu, bentar lagi.”

“Ya sudah, jangan lupa pintunya dikunci kalau mau tidur.”

“Iya.”

Saat ini aku memang LDR-an (Long Distance Reading) dengan kampus, maksudnya aku membaca keadaan kampus jarak jauh. Sekarang aku lebih banyak menghabiskan waktu di tempat kelahiranku daripada di luar kota, meskipun harus lintas provinsi untuk menempuh jarak dari rumah ke kampus. Mungkin terasa aneh bagi orang-orang yang lebih suka menyewa tempat tinggal meskipun masih dalam satu provinsi. Ada alasan tertentu setelah tiga tahun aku menetap di sana, tepatnya kota tempat aku belajar.

Saat ini aku lebih nyaman berada di rumah, bukan karena fasilitas yang serba ada ataupun bisa dekat dengan orangtua. Sebelum itu, selama dua tahun berturut-turut aku memang tidak pulang ke rumah karena suatu tanggung jawab seusai lulus sekolah menengah. Aku lebih tertarik dengan kamarku. Kamar yang berisi kenangan yang aku ciptakan sendiri sebagai tempat mencari inspirasi selain sebagai tempat peristirahatan.

***

Ini adalah musim hujan diawal tahun ke-empat yang menemani perjuanganku mencari ijazah, lebih tepatnya usaha melanjutkan impian terpendam selama dua tahun di tempat itu yang masih ku ingat jelas apa yang sudah kulakukan. Beruntungnya mereka tidak menanyakan bahkan mempersoalkan keberadaanku di tempat itu. Namun, yang membuatku tertekan adalah soal berapa lama lagi aku akan menyudahi kisah kesendirianku? Pertanyaan itu yang paling aku takutkan karena memang usiaku dua tahun lebih jauh dari mereka, meskipun ada lagi yang lebih tua dariku.

“Bukankah lebih baik kau memilih yang peduli dan menyayangimu?” Eki sedikit membaca pikiranku yang sedari tadi hanya diam sembari menyeruput sedikit kopi hangat.

“Sepertinya, ijazah S1 itu tak penting bagiku.” Aku melenceng dari pertanyaan itu.

“Aku sedang serius padamu.” Eki sedikit menaikkan nada bicaranya.

“Aku juga serius”

“Apa maksudmu?”

“Tau sendiri kan, aku ini hidup dimana? Jadi buat apa aku meraih S1 di kampus ini?”

“Oh… jadi itu masalahmu…”

“Bukan salah kampus sih, aku yang salah.”

“Nggak ada yang salah Yan, kamu udah tepat memilih untuk disini. Mereka saja yang tidak mau melihat dan membuka mata. Kamu ingat waktu dulu kan, kampus itu hebat karena mahasiswanya, mereka berani melawan pemerintahan yang foedal. Lha, sekarang mahasiswa hebat karena kampusnya yang mewah dan punya fasilitas yang bagus.”

“Betul juga sih, aku juga sependapat denganmu.”

Sejenak aku membatin hingga pikiranku melayang jauh mengingat orang yang tanpa permisi hadir dalam kehidupanku saat aku sedang serius-seriusnya mendalami ilmu agama di Pesantren. Aku pikir ia mendekatiku dengan hormat hingga aku tersentuh dengan sikapnya, namun setelah itu ia menjatuhkanku kedalam rasa sakit yang harus aku tanggung selama beberapa bulan dipenghujung tahun. Dengan tanpa dosa, ia membuka lembaran baru dengan seorang wanita dari lulusan kampus ternama yang ada di Bandung. Sejak saat itu aku berpikir tentang keberadaanku di kampus yang kecil ini, tentang kesalahanku memilih kampus, hingga berujung pada perasaanku yang sudah ternodai.

Mungkin itu sebuah kesimpulan yang konyol, tapi terserah anda mau bicara apa tentang diriku. Aku memang sering berspekulasi terlalu tinggi tentang perasaanku, bahkan dengan keterbatasanku aku senang bermimpi suatu hari nanti aku memiliki kampus sendiri.

Masih ada sisi lain hatiku tentang lima tahun yang lalu saat aku harus memilih meninggalkan bumi pertiwi untuk menjalankan tugasku di tempat yang jauh.  Namanya masih ada hingga detik ini dan disela-sela waktu aku menyempatkan berpikir tentangnya. Mungkin bagi anda itu terlalu menghabiskan energi dan menguras pikiran yang seharusnya untuk memikirkan masa depan, tapi lagi-lagi terserah anda untuk berkomentar apa saja tentangku.

Hans Mahendra, laki-laki yang aku kenal di bangku Sekolah Menengah Kejuruan. Laki-laki yang terkenal paling pintar dan pendiam di jurusan Teknik. Aku mulai mengenal dekat dengannya sejak aku dan dia terpilih dalam sepuluh besar siswa jurusan Teknik untuk mengikuti Lomba Keterampilan Sekolah, meskipun pada akhirnya aku harus kalah dan Hans maju ketingkat Provinsi.

Aku tak mengerti perasaan itu muncul begitu saja secara alami, saat aku pertama kalinya mengikuti gerakan sholatnya sore hari seusai sekolah. Itu adalah musim hujan pertama aku mengenalnya. Namun masih ada usahaku untuk tidak lebih jauh membiarkan perasaanku terikat padanya meskipun aku merasakan sulit mengatasinya. Sedikit buku bacaan yang aku habiskan untuk menghilangkan perasaan itu walaupun hanya sedikit.

Waktu hanya bisa menjawab semua keadaan itu. Hingga akhirnya setelah lulus dari SMK itu aku memilih untuk tidak lagi bertemu dengannya meskipun sebenarnya aku bisa saja melanjutkan di tempat yang sama dengannya.

“Hari gini masih mikirin masa lalu aja, hahahha…” Eki membangunkanku dalam lamunan yang menurutnya tak penting. Dia memang sudah lama mengenalku dan tahu kebiasaanku saat terdiam.

“Ah… Cuma iseng aja, mata kuliah Sejarah kan ngajarin kalau kita harus tahu gimana perjuangan pahlawan itu membangun peradaban dunia, termasuk kalau kita nginget masa lalu,” kataku dengan sedikit tertawa.

“Terserah lu dah… bagiku mikirin masa depan jauh lebih penting,” Eki membantah sambil menyeruput munumannya.

Aku tidak membahas lebih jauh komentarnya, meskipun aku sadar kalau pahlawan dalam cerita sejarah tidak meminta namanya untuk diabadikan oleh siapapun. Mereka berjuang ikhlas untuk seluruh manusia yang ada disekelilingnya, mereka hanya menyampaikan agar perjuangannya tidak berhenti dijamannya saja, tapi harus diteruskan kegenerasi berikutnya dan tak peduli namanya dikenang atau tidak.

Begitupun denganku yang tak bisa menggantikan musim hujan dengan musim yang lain. Hujan bukan hanya tentang pergantian musim di iklim tropis, namun ia membuka kenangan lalu bagiku tentang sebuah nama yang sulit aku lupakan.

***

Leave a comment

Trending